SULUK KASIH: Jalan Lembut Mendidik Remaja dalam Bingkai Islam

 


Penulis               : Dr. Imam Syafi'i, M.Pd., Muhammad Sulaiman, S.Pd.I., B.I.S., M.Pd., Dr. Achmad  Anwar Abidin, M.Pd.I., Dony Darma Sagita, M.Pd., Kons., dan Dr. Mudayat, M.Pd

Editor                : Nova Tri Prasetiyo, M.Pd. dan   Sariyani, M.Pd.

Layout               : Muhammad Farizal Amri, M.Pd

Sampul              : Khairunnisa Nur 'Aafiyah

Ukuran              : 21 x 14,8cm

Isi                       : ii + 409hlm

ISBN                  : Proses

Pemesanan        : Online-Whatsaap

Link                   : https://bit.ly/inoffaststore 

Info Pembelian  : 0813-1425-6167


Sinopsis

Buku ini mengajak pembaca menapaki “suluk” jalan spiritual yang penuh kelembutan dalam mendidik remaja. Berangkat dari landasan filosofis dan teologis Islam, penulis menguraikan epistemologi kasih sebagai sumber pendidikan yang bersumber dari wahyu, nalar, dan pengalaman hidup. Seperti firman Allah, "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya: 107), pendidikan pun seharusnya dibingkai dengan rahmat yang membentuk jiwa, bukan sekadar mengisi pengetahuan.
Dalam mengupas hakikat jiwa remaja, buku ini memadukan konsep fitrah, nafs, dan dinamika masa baligh dengan tafsir ayat-ayat seperti QS. Ar-Rum: 30 dan QS. An-Nur: 31. Remaja dipandang bukan sebagai “masalah” yang harus dikendalikan, melainkan amanah yang sedang mencari arah. Pandangan ulama seperti Imam al-Ghazali dan Ibn Miskawaih memperkaya pemahaman bahwa pendidikan adalah seni mengarahkan potensi fitrah menuju kemuliaan akhlak.
Penulis membawa pembaca menelusuri kisah-kisah Al-Qur’an, seperti nasihat Luqman kepada anaknya (QS. Luqman: 12–19), sebagai contoh tarbiyah bil-mahabbah pendidikan dengan cinta. Di sini, kasih sayang Allah dijadikan model utama pendidik, sebagaimana Nabi ﷺ yang memeluk Hasan dan Husain dengan penuh kelembutan, sambil mengajarkan nilai-nilai hidup yang luhur. Hadis beliau, "Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi" (HR. Bukhari dan Muslim) menjadi ruh dari metode yang ditawarkan.
Hikmah para ulama juga menjadi mutiara yang menghiasi buku ini. Imam al-Syafi’i menekankan keseimbangan antara kelembutan dan ketegasan, Ibn Qayyim mengajarkan pentingnya memahami kondisi hati remaja, dan Hasan al-Bashri mengingatkan bahwa doa orang tua adalah senjata pendidikan. Perbandingan pandangan klasik dan modern memberi pembaca wawasan luas untuk menyesuaikan strategi dengan zaman.
Bab-bab praktis dalam buku ini memetakan strategi menghadapi luka batin remaja akibat penolakan, kesepian, tekanan akademik, maupun konflik keluarga. Penulis menawarkan 17 strategi Islami membangun harga diri dan makna hidup, mulai dari empati berbasis qalbun salim, komunikasi afektif melalui hiwar dan uswah hasanah, hingga disiplin yang tegas tanpa kekerasan. Prinsip targhib wa tarhib dibahas dengan penekanan pada keselamatan psikologis remaja.
Buku ini juga menyoroti kolaborasi antara orang tua, guru, dan remaja itu sendiri. Orang tua didorong menjadi qudwah ahsanah – teladan terbaik yang istiqamah dalam cinta dan doa. Guru diposisikan sebagai murabbi dan mujahid yang menanamkan motivasi dan nilai-nilai Islam. Remaja diarahkan menjadi subjek aktif pendidikan melalui proyek kebaikan, mentoring sebaya, dan journaling ruhani.
Di era digital, Suluk Kasih memberi panduan menghadapi disrupsi teknologi tanpa kehilangan kelembutan mendidik. Program seperti halaqah ayah-anak dan komunitas remaja berbasis cinta diulas sebagai model pendidikan masa kini. Buku ini menutup dengan ajakan menjadikan kasih sayang sebagai kekuatan peradaban, karena seperti sabda Nabi ﷺ, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya" (HR. Tirmidzi). Dengan bahasa yang hangat dan dalil yang kuat, karya ini menjadi panduan bagi siapa saja yang ingin membangun generasi penebar kasih.